Secangkir Kopi


Liburan akhir tahun diisi oleh sekumpulan sahabat untuk melakukan reuni. Sudah dua puluh tahun lebih mereka berpisah dan baru tahun itu mereka bisa berkumpul. Untuk itu, mereka bersepakat untuk menemui gurunya ketika bersekolah dulu. Mereka hendak berterima kasih bahwa dengan ajaran dari sang guru, mereka kini telah sukses dengan bidangnya masing-masing.

Maka, di sebuah sore yang hangat, mereka pun datang bersama-sama mengunjungi gurunya. Mereka saling bercanda, mengenang masa kekanakalan ketika remaja. Meski dikenal tegas, guru ini memang dikenal tegas, guru itu memang disukai oleh semua muridnya. Banyak murid yang datang kepadanya untuk sekedar berkunsultasi tentang masalah di sekolah, namun tak jarang pula bercerita seputar kehidupan pribadinya.

Karena itu, reuni pun berlangsung sangat hangat. Satu sama lain berkisah tentang perjuangan hidup yang mereka lalui. Ada yang sudah jadi bos besar di perusahaan multinasional. Ada pula yang menjadi pengusaha sukses di bidang transportasi. Ada pula mengaku sudah melanglang buana ke hampir semua benua untuk memenuhi impiannya. Namun dari sekian banyak yang berkisah sukses luar biasa dicapainya, ada pula dua murid yang tampak tak banyak bicara. Malah dari sikap duduknya, mereka seperti kurang nyaman untuk membicarakan seputar kesuksesan yang diraih. Entah karena mereka merasa sesukses teman-temannya, atau memang sedang berupaya untuk tidak menceritakan hal bernada kesombongan.

Melihat percakapan seputar kesuksesan yang sudah hampir melampui batas, sang guru pun meminta izin untuk ke belakang rumah. Rupanya, iya mengambil beberapa cangkir kopi dan satu teko berisi kopi panas yang sudah siap diseduh. Uniknya, cangkir yang diberikan terdiri dari beragam bentuk dan terdiri pula dari beragam bahan. Ada yang dari keramik, kristal, kaca, melamin, dan ada pula yang terbuat dari plastik biasa.
“sudah, ngobrolnya berhenti dulu. Ini saya sudah disiapkan kopi buat kalian”, sebut sang guru memecah keasyikan obrolan mereka.

Hampir serempak, mereka kemudian merebut cangkir terbaik yang mereka dapat. Akhirnya, di meja haya tersisa haya satu buah cangkir plastik yang paling jelek. Lantas, setelah semua mendapatkan cangkirnya, sang guru pun mulai menuangi cangkir ini dengan kopi panas dari teko yang telah disiapkannya.

“Ayo silahkan diminum”, kata sang guru, yang kemudian ikut mengisi kopi dan meminum dari cangkir terakhir yang paling jelek. “Bagaimana rasanya? Nikmat bukan? Ini dari kopi hasil kebun keluarga saya sendiri”.
“Wah, nikmat sekali guru. Ini kopi paling sedap yang pernah saya minum”, timpal salah satu murid yang langsung diiyakan oleh teman yang lain.

“Nah, kopinya enak ya? Tapi, apakah kalian memperhatikan. Kalian hampir saja berebut untuk memilih cangkir yang palig bagus hingga hanya menyisahkan satu cangkir paling jelek ini?” tanya sang guru.

Murid-murid itu saling berpandangan. Mereka bertanya-tanya, apa maksud gurunya bertanya seperti itu. Dan, tanpa menunggu lebih lama, sang guru pun kembali meneruskan ucapannya. “Tak salah memang untuk memilih apa saja yang terbaik. Malahan itu sangat manusiawi. Namun persoalannya, ketika kalian tidak mendapatkan cangkir yang bagus, perasaan kalian mulai terganggu. Kalian secara otomatis melihat cangkir yang dipegang orang lain dan mulai membandingkannya. Akibatnya, pikiran kalian berfokus pada cangkir. Padahal yang kalian nikmati bukanlah cangkir, melainkan kopinya. Dan, kalian sendiri mengaku bahwa kopi ini adalah kopi terenak. Jadi tolong pikirkan baik-baik. Hidup kita seperti kopi yang ada di dalam cangkir tersebut. Sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan, dan harta benda yang kalian miliki”. Sang guru pun kembali meneruskan wejangannya “Karena itu, jangan pernah membiarkan cangkir mempengaruhi kopi yang kalian nikmati. Cangkir bukanlah yang utama, sebab kualitas kopi itulah yang terpenting. Jangan berpikir bahwa kekayaan yang melimpah, karier yang bagus, dan pekerjaan yang mapan yang akan kalian banggakan tadi merupakan jaminan kebahagiaan. Namun sejatinya, kualitas hidup kita ditentukan oleh ‘apa yang ada di dalam’ bukan ‘apa yang kelihatan dari luar’. Apa gunanya kita memiliki segalanya, namun kita tidak pernah merasakan damai, sukacita, dan rasa bahagia dalam kehidupan kita? Itu sangat menyedihkan karena itu sama seperti kita menikmati kopi basi yang disajikan di sebuah cangkir kristal yang mewah dan mahal. Jadi, kunci menikmati kopi bukanlah seberapa bagus cangkirnya, tetapi seberapa bagus kualitas kopinya”.

Semua murid itu pun tertunduk malu. Mereka merasakan inilah reuni yang membuat mereka kembali ‘membumi’. Mereka pun berjanji, akan menjadikan pembelajaran cangkir kopi tersebut untuk mejadikan sukses yang diraih memberi kemanfaatankan kepada yang lebih banyak orang, dan bukannya menjebak mereka dalam kesombongan.
Sumber:
Kapsul AW, Majalah Luar Biasa, No 49 Tahun V, Januari 2013.

sumber foto: http://infojkt.com/wp-content/uploads/secangkir-kopi.jpg

Komentar